29 December 2010

Semangat Cinta Dewi Sartika dalam Pengasuhan Anak

SOSOKNYA mungkin tak setenar R.A. Kartini, seorang wanita dengan ide briliannya. Namun, impian Kartini yang masih sebatas ide itu bisa diwujudkannya. Ya, Dewi Sartika seorang pahlawan Bandung asli menjadi pelopor terbentuknya sekolah untuk kaum wanita. Sosoknya yang rendah hati dan membumi tak membuatnya iri akan ketenaran Kartini. Itulah karakter pahlawan sejati.

Dilahirkan pada tahun 1884 dari keturunan Raden Rangga Somanegara dengan R.A. Rajapermas di Bandung. Nasibnya sebagai anak dari seorang menak membuatnya dapat mengenyam pendidikan di Eerste Klasse School. Di sana ia belajar bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Melihat nasib anak-anak inlander yang tak seberuntung dirinya, hatinya gelisah. Sudah tampak kepekaan sosial dalam diri Dewi semasa kecil. Ia mulai mengajar anak-anak perempuan di sekitar rumahnya. Dari membaca, menulis, berhitung hingga belajar bahasa asing.

Beranjak dewasa kecerdasaan sosialnya kian terasah. Melihat semakin banyaknya minat pembelajar perempuan, ia mencetuskan ide brilian. Ia memiliki impian untuk membuat sebuah sekolah khusus kaum Hawa. Sayangnya, impiannya tersebut terjegal seorang Inspektur Pengajaran Hindia Belanda bernama C. Den Hammer. Den Hammer melihat tindakan Dewi berbahaya dan patut dicurigai.

Tak patah arang, Dewi keukeuh dengan misinya itu. Tuturnya, "Menurut pendapat saya, barangkali dalam hal ini bagi wanita tidak akan sangat banyak berbeda dengan pria. Di samping pendidikan yang baik, ia harus dibekali pelajaran dengan sekolah yang bermutu. Perluasan pengetahuan akan berpengaruh pada moral wanita pribumi. Pengetahuan tersebut hanya diperolehnnya dari sekolah." Langkahnya kian mantap untuk mewujudkan asa, membangun sekolah untuk wanita.

Tahun 1904, ia mendirikan Sakola Istri. Meski sempat tak disetujui Bupati Martanegara, semangatnya tak surut. Dengan uang pribadi, ia meluluskan citanya. Dengan 60 pelajar wanita, ia melancarkan misinya. Mengajari mereka menulis, membaca, berhitung, dan berbicara bahasa asing. Pun keterampilan wanita seperti menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semangat pembelajarnya menular hingga luar daerah. Pada tahun 1910 terbentuk Perkumpulan Kautamaan Istri sebagai cabang sekolah wanita di daerah lain.

Potret pola asuh orangtua masa kini

Kita lihat fenomena sosial dalam lingkup yang lebih kecil, keluarga. Peran orangtua sangat vital terhadap pendidikan anak. Ibu merupakan lembaga pendidikan pertama dan ayah sebagai penunjang pendidikan, kedisiplinan serta sosok panutan.

Potret pengasuhan orangtua masa kini lebih dipercayakan pada baby sitter sebagai pendamping anak-anaknya. Sementara mereka sibuk dengan urusan pekerjaan. Selama satu hari penuh mereka mempercayakan anaknya pada pengasuh yang rata-rata berpendidikan dasar. Tak sedikit, ayah ibu yang berprofesi sebagai pendidik, pengusaha sukses dengan pendidikan yang tinggi, tapi anak mereka dipercayakan pada pengasuh yang mungkin SD pun belum lulus. Lebih miris lagi, sang pengasuh malah "mempercayakan" anak majikannya pada televisi yang notabene bisa membuat anak diam dan betah berjam-jam menontonnya.

Fenomena unik lain, beberapa kali saya memergoki seorang ibu yang lebih asyik bermain dengan ponsel daripada bermain atau sekadar ngobrol dengan anaknya. Hingga di Jakarta seorang ibu meninggalkan anaknya bermain di balkon rumah, hanya untuk pergi ke warnet. Anaknya jatuh dan meninggal. Peristiwa ini menajdi berita utama di media.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya adalah kurang peka dan kurang siapnya ibu dalam mendidik anak. Ketiadaan waktu komunikasi antara orangtua dan anak membuat sang anak mencari katarsis lain. Tak heran jika anak lebih sering bergaul dengan kawan-kawan gengnya, berkerumun di warung internet, menyibukkan diri dengan game online, dan katarsis lain.

Kekuatan cinta

Hal mendasar apa yang membuat Dewi Sartika memiliki impian dan kekuatan untuk menerobos keterpurukan wanita saat itu? Tak lain kekuatan cinta. Cintanya akan pendidikan. Cintanya akan terwujudnya generasi Hawa yang lebih baik. Cintanya melihat perempuan-perempuan yang beradab dan terhormat. Perempuan yang kaya akan pengetahuan, keterampilan, dan berdaya untuk memberikan kontribusi yang terbaik untuk bangsa.

Kekuatan cinta pulalah yang seharusnya menjadi motivasi orangtua untuk memberikan yang terbaik pada anak. Bukan hanya soal materi dan pendidikan (sekolah), melainkan kasih sayang dan panutan. Setiap anak merindukan sosok idolanya sebagai contoh. Orangtua adalah lingkungan terdekat bagi mereka. Apa jadinya jika seharian anak hanya dekat dengan pengasuh atau televisi yang tontonannya pun kita enggan melihatnya?

Menghadirkan anak memang mudah, namun mendidiknya bukanlah hal mudah. Sosok ibu sangat penting dalam pendidikan anak sejak dalam kandungan. Membacakan ayat-ayat suci Alquran, sesekali membacakan buku cerita, seringnya mengajak anak berbicara dan membelainya akan memberi stimulasi yang baik. Ibu pun dapat melahap berbagai ilmu tentang parenting (pola pengasuhan anak yang baik), kesehatan anak, dan lainnya. Ini semua akan berguna. Hingga saat sang anak sudah nyata ada, kita tak lagi kerepotan mengurusi karena sudah dibekali ilmu. Saat sang anak mulai bertumbuh, ini saatnya orangtua mempraktikkan ilmu yang selama ini dimiliki sehingga terbentuk proses dari "tahu" jadi "mampu".

Sekali lagi, ini semua kekuatan cinta. Cinta yang membuat orang tak mampu jadi berdaya. Yang awalnya tak mau jadi mau. Cinta memiliki kekuatan tersendiri yang membuat Dewi Sartika, di tengah keterbatasannya mau dan mampu mendirikan sekolah untuk kaum Hawa. Maka dengan kekuatan cinta itulah, kita sebagai ibu memberikan waktu terbaik, kasih sayang terbaik, didikan terbaik untuk anak kita. Sebagai bapak kita memberi nafkah yang terbaik, waktu yang berkualitas, menjadi pendengar dan teman terbaik dibandingkan teman-temannya di luaran. Bukankah indah jika melihat anak kita tumbuh dengan kesuksesannya? Berkat siapa? Berkat Tuhan dan kita, orangtuanya. 



Galamedia, 24 Desember 2010



*Esai ini ditulis oleh Ade Fariyani, anggota Forum Lingkar Pena Bandung, trainer, terapis hipnoterapi dan praktisi EFT

1 comment:

  1. wah... mau dong diajarin nulis ky gini...
    :)

    ReplyDelete