Alhamdulillah buka bersama (Ifthar jama’i) FLP
Bandung, sabtu 6 Agustus 2011 dihadiri berbagai generasi dan mengundang Soni
Farid Maulana membicarakan Sastra Profetik dan akhirnya membincangkan komunitas
FLP di kediaman T’Uci.
Awalnya pertumbuhan sastra modern dikuatkan
oleh 3 ideologi yaitu media Kristen, media islam dan media abangan. Sastra
Indonesia sejak tahun 1950-1960an memiliki dua ideologi, yang pertama Lekra
dengan ideologi komunis dan yang kedua,
Manekebu dengan ideologi nasionalis.
Adapun Lesbumi yang berbasis Islam
salahsatunya Asrul Sani. Perkembangan sastra mengalami stagnasi, sampai
akhirnya mulai terbit HORISON di tahun 1970-an yang didirikan oleh Mochtar
Lubis dan Taufik Ismail ideologi yang diusungnya sendiri adalah humanisme.
Sastra lama dominan mengusung lokalitas,
sampai akhirnya di tahun 70-80 an, gegap gempita sufisme, yakni gerakan sastra
bukan ideologi. Kuntowijoyo menyatakan bahwa akar Islam adalah Islam. Sufi dan
sastrawan yang terkenal yakni Jalaludin Rumi.
Kuntowijoyo berbasis Al Qur’an, sunnah nabi
dan nilai-nilai islami. Pertanyaannya, adakah media khusus untuk sastra
profetik?
FLP sebagai organisasi yang mengusung sastra
yang mencerahkan saat ini sepertinya memiliki media tersedia untuk
anggota-anggotanya yang sudah tersebar di tanah air bahkan sampai ke luar
negeri.
Maka setiap penulis wajib memiliki ‘gaya
pengucapan’ dan terus memproduksi sesuatu. Apalagi sebuah kesempatan yang luar
biasa karena di Bandung memiliki banyak penerbitan.
Pak Soni juga mengusulkan agar FLP bisa masuk
ke sekolah dengan rancangan FLP Goes to
School seperti acara “Sastrawan Berbicara, Siswa Bertanya” sedangkan Bang
Aswi memberi saran untuk dapat fokus di fiksi anak, seperti ada forum penulis
bacaan anak yakni Princes Aura, dsb.
Kamisan lalu, 4 Agustus 2011 pun dibahas
Sastra Profetik oleh Topik Mulyana, diberikan 2 puisi terkait Sastra Profetik
yang ditulis Kuntowijoyo yakni dalam kumpulan puisi “Isyarat” yakni “Pabrik”
dan “Laut.” Acara pun ditutup dengan berbuka puasa.