02 April 2013

Bahwa yang Terlihat Hitam Tak Selamanya Hitam

Oleh Deti Rismayanti


Hyang Girinata pun tak kuat menahan badai berahinya. Dia hanya bisa terpana dan air kelakiannya memancar seperti permata, jatuh membasahi selembar daun sinom yang tengah melayang jatuh. Angin masih bertiup kencang dan daun sinom meliuk-liuk sebelum jatuh di paha Anjani.

(Madirda) *Bahkan para dewa sekalipun!


“Siapa sebenarnya engkau, duhai satria tampan?”

Satria itu tersenyum. “Namaku Ramawijaya. Dan ini adikku Lesmana. Kami putra Prabu Dasarata ari Ayodya.”

Aku membalas senyumnya dengan seringai. “Oh, rupanya engkaulah satria pelindung jagat itu. Aku memang sudah ditakdirkan perlaya di tangan titisan Wisnu. Tapi mengapa engkau memanahku dengan cara seperti ini? Apa salahku? Mengapa engkau memanahku secara tidak satria? Kalau seorang titisan dewata yang terkenal itu bertindak demikian tercela, bagaimana orang bisa membedakan kebajikan dan kejahatan? Lagi pula, aku bertempur dengan adikku sendiri dengan urusan pribadi. Mengapa engkau turut campur? Serta datang dengan gelar pasukan tak terkira? Aku tak pernah berpikir melibatkan rakyatku. Aku berharap bahwa setelah salah satu dari kami kalah, selesai pulalah persoalan. Tapi kini....”

(Kiskenda) *melanggar batas teritorial

Kuhadapi Rama meski aku tahu bahwa sudah tercatat di garis takdir aku akan perlaya di ujung Guwawijaya.

(Sang Angkara) *Sikap ksatria seorang Rahwana

Seperti dua sisi mata uang.

Benar dan salah, baik dan buruk. Keduanya tergantung pada dan dari sudut pandang mana kita melihatnya. Sebagai manusia, kita mewarisi separuh sisi syetan dan malaikat. Dalam diri setiap kita tentulah ada sisi baik yang lengkap dengan sisi buruknya. Karena seperti itulah kesempurnaan manusia. Manusia lengkap dengan ketidaksempurnaanya.

Kumcer Madirda ini benar-benar menyadarkan saya tentang satu realita kehidupan, bahwa apa yang kita tangkap sebagai putih itu belum tentu putih. Demikian juga dengan hitam. Yang terlihat hitam oleh kita belum tentu benar hitam, percayalah bahwa terkadang pandangan bisa menipu kita. :-)
 
Dan pada kumcer Madirda ini, kepiawaian Hermawan Aksan dalam memilih, mengambil, mengolah dan memainkan sudut pandang patut kita acungi jempol. Dengan rapi, Pak Her (demikian saya memanggil beliau) telah berhasil menyampaikan pesannya pada pembaca bahwa “tak ada warna putih di atas dunia” ini.

Selain sudut pandang, yang takkalah mencuri perhatian saya adalah kelihaian penulis dalam hal penokohan. Karakter setiap tokoh dalam kumcer ini terasa konsisten meski disorot dari sudut pandang yang berbeda. Kemudian diksinya. Menakjubkan! Dan cara Pak Her dalam menggambarkan apa yang ada dibalik keadaan sekitarnya pun cukup mengagumkan. Unik. Seperti ketika terjadi angin ribut (badai) yang ternyata sebenarnya pada saat itu para dewa tengah belingsatan karena tidak tahu harus berbuat apa dengan gejolak dada mereka yang takkuasa melihat pesona yang dipancarkan tubuh Anjani.

. . . .

Karena itu, biarlah aku mati dengan sepuas hati. Bahwa sebenarnya keangkaraanku yang terang-terangan tidaklah seberapa dibanding ribuan angkara yang bersaput wajah brahmana. Aku yakin, yang demikian lebih berbahaya dibanding sekedar angkara seorang Rahwana.

*Wow! Ini adalah salah satu paragraf yang membangun cerpen Sang Angkara. Coba kita perhatikan permainan kata-katanya! Mengesankan bukan? Dan tentu saja masih banyak paragraf lainnya yang bisa membuat kita (para pembaca) merasa terkesan. Atau bahkan lebih terkesan lagi.

  . . .


Saya rasa buku ini layak untuk dijadikan referensi bagi siapa saja yang memiliki minat dalam kepenulisan.  Sarat makna dan relatif “matang”. Terutama bagi saya yang masih harus banyak belajar. Buku ini akan saya jadikan salah satu pegangan. Banyak pelajaran yang bisa kita dapatkan dari buku ini. Selamat membaca Madirda, Kawan! :-)

Baca juga http://www.skylart-publisher.com/2012/12/madirda-hermawan-aksan.html
Deti Rismayanti

Kamisan FLP Bandung, 28 Februari 2013

Menulis Tentang Wanita, Langkah Kecil Mengubah Dunia



Oleh Toto Setiadi

Pernahkah kamu mendengar efek kupu-kupu?
Satu kepak sayap kupu-kupu di Cina menyebabkan Badai di Amerika. Ubah satu ha kecil maka sebenarnya kamu akan mengubah banyak hal.

Aktivitas menulis, bisa menjadi bukan sedekar hobi belaka. Kegiatan yang pada dasarnya meramu dua puluh enam abjad tersebut dari huruf menjadi kata kemudian kalimat lalu paragraph berkembang menjadi bab hingga akhirnya terciptalah sebuah karya, atau bisa disebut sastra. Hal ini tampak sederhana mungkin kecil, tapi dibalik itu semua bila kita sandingkan dengan teori efek kupu-kupu, hanya kecil tersebut sebenarnya sedang menunggu waktu untuk meledak, bagai bom waktu, tapi kita kadang tak pernah tahu kapan dan dimana ledakan itu akan menggelegarnya.

Menulis pada dasarnya adalah berbagi ide, seorang penulis adalah orang sedang berbagi. Mereka berbagi berbagai idenya, tentang apa yang dirasa, ditemukan atau yang tengah meresahkannya, mungkin sekedar melepas galau juga yang tengah melilit pikirannya. Ide, jika kita tahu itu adalah barang yang sangat mahal, boleh jadi satu ide akan membentuk dua karya, tapi karya yang orisinal dari ide tersebut hanya akan terasa satu saja.

Bermula dari ide, gender akan bisa berubah-ubah. Manusia terdiri atas dua jenis, laki-laki dan wanita. Tak bisa diubah dan tak bisa meminta dari awal jenis mana yang akan tercetak pada diri kita, begitu lahir, kita hanya bisa menerima, itu adalah anugerah Tuhan. Dibalik kelaki-lakian atau kewanitaan itu ada fungsinya masing-masing yang mana sudah pula disesuaikan, tetapi kini seiring berlalunya waktu mengubah zaman fungsi-fungsi tersebut kadang berontak, bagai roda mereka bisa berputar bahkan bertukar peran. Inilah gender nilai-nilai yang berada dibalik jenis kelamin manusia dan itu dibangun oleh kondisi sosial sekitar, dari sinilah pula lahirlah maskulin dan feminism.

Saat seorang penulis menulis, saat seorang penulis berbagai ide lewat tulisannya. Khususnya yang berkaitan dengan wanita, kadang tulisan tersebut sarat bermuatan gender. Hal inilah yang saya rasakan pada kumpulan cerpen  “suami sempurna” karya Almarhum Nurul F Huda. Pada beberapa cerita yang ada pada cerpen ini khususnya yang berkaitan dengan kewanitaan, dalam konteks sosial, penulis mencoba berontak, dengan menawarkan ide yang ingin penulis sampaikan lewat cerita tersebut mengenai kondisi yang penulis harapkan atas kondisi yang tengah terjadi kini, terutama pada para wanita. Mengingat bahwa gender ini bisa sewaktu-waktu berubah, maka dari tulisan itulah penulis memulai langkahnya untuk merekontruksi ulang nilai-nilai gender yang tengah terjadi kini dengan harapan kelak kondisi wanita lebih baik. hal ini bukan berarti kondisi sekarang buruk, inilah waktu, sewaktu-waktu, waktu terasa baik, tapi waktu berikutnya waktu menenggelamkan, waktu tak berpihak, ia hanya berputar, sesuai fitrahnya. Mempergilirkan kondisi tentang waktu.


Ingat ubah satu hal-mengubah banyak hal.