29 January 2013

IKUTI BEDAH KARYA NOMINASI TERBAIK WRITING CONTEST MUSLIMAH FEST

Buat teman-teman muslimah yang mengikuti Writing Contest Indonesian Muslimah Festival.. jgn lupa hadiri bedah karya Para Juara, Jumat 1 Februari 2013 Pkl.10.00-11.30 di Sabuga.. bersama pembicara Izzatul Jannah (Ketua FLP Pusat dan Penulis) yg merupakan juri utama. Hadiri juga kemisan special FLP Bandung 31 Januari 2013 pkl.14.00-15.00 di MIni Stage Utara Dont Miss it yaa.. sebarkan :)

Kunjungilah!

Stand FLP Bandung pada event MuslimahFest, 30jan-3feb 2013 @ Sabuga ITB

Ada bazzar buku Kumpulan Cerpen FLP Bandung "Angin dan Bunga Rumput" , buku Ingat Allah dengan 100 Doa, Ingat Allah dengan Shalat, Favorite Stories for Girls, Favorite Stories for Boys, Funny Stories for Boys and Girls dan 100 Kisah Setelah Tidur milik Ali Muakhir, buku Melepas Dahaga dengan Cawan Tua milik Topik Mulyana, ada tas kain FLP, Mug FLP, Majalah FITRAH, blouse akhwat kancing merah, jas sepatu, beragam makanan, serta aksesoris unik lainnya.

DAPATKAN JUGAAAAAAAAA . . . .
Info lengkap terkait FLP Bandung,
Pendaftaran keanggotaan baru FLP Bandung,
di Stand FLP Bandung ;)

Dan H A D I R I
Acara pekanan FLP Bandung (KAMISAN)
Kamis, 31 Jan 2013 pk.14.00-15.00 di mini stage north area.

Info lebih lanjut
-twitter: @flpbandungOk
-facebook: FLP Bandung
-0838 2129 9555

25 January 2013

RIHLAH KE CICALENGKA

Assalamu'alaikum inilah keluarga besar FLP Bandung yang sedang berkunjung ke rumah Nurul Maria Sisilia...


Kamisan FLP Bandung - SELASIH "PENGARUH KEADAAN"

  • Tweeps, kita akan mengupas kamisan kemarin 24/01/2013.
  • Penulis sastra perempuan pertama di Indonesia dan dinobatkan scr resmi oleh Balai Pustaka yaitu Selasih.
  • Selasih adalah nama pena dari Sariamin.
  • Buku pertamanya adalah "Kalau Tak Untung" (1930), buku kedua dan dibahas saat #kamisan adalah
    "Pengaruh Keadaan"(1937).
  • Cerita yang disuguhkan dalam Novel "Pengaruh Keadaan" benar-benar filmis; banyak dialognya dan tidak banyak narasi.
  • Cerita "Pengaruh Keadaan" lebih bermuatan lokal, mengusung adat istiadat dan menceritakan ketabahan thdp nasib.
  • Tokoh yg tak berubah watak, sifat dan perilaku adalah Yusnani. Sdgkn semua tokoh jahat berubah insaf pada cerita akhirnya.
  • Ada peribahasa yg berbeda di akhir kisah ini yakni Air Tuba dibalas dengan Air Susu.

DIMENSI PROFETIK SAJAK-SAJAK JEIHAN

DIMENSI PROFETIK SAJAK-SAJAK JEIHAN
Topik Mulyana

Dalam sebuah episode perjalanan Isra-Mikraj, Nabi Muhammad ditawari satu dari tiga macam minuman yang disuguhkan kepadanya: khamr (sejenis minuman memabukkan), susu, dan air putih. Sang Nabi memilih susu. Kemudian, Jibril mengomentarinya—atau lebih tepat: memujinya—bahwa pilihan beliau amat tepat. Seandainya Nabi memilih khamr, maka umatnya akan menjadi kaum hedonis dan jika memilih air putih, umatnya akan menjadi rahib. Tentu saja terpilihnya susu untuk beliau minum bukan sesuatu yang kebetulan. Hal ini terkait dengan kepribadian beliau jauh-jauh hari sebelum peristiwa agung itu berlangsung, yakni sikap tidak ekstrem. Sikap inilah yang kemudian menjadi salah satu teladan yang diwariskan kepada umat Islam yang bersungguh-sungguh mempelajari dan mengamalkan hadis dan sunnahnya.

Pada saat yang lain, sepulang dari sebuah peperangan, rombongan prajurit Islam yang dipimpin langsung oleh Nabi melewati sebuah tempat sunyi, sejuk, dan terdapat kolam mata air. Seorang sahabat pun berujar bahwa ia berniat akan menghabiskan sisa umurnya di sana untuk beribadah kepada Allah. Mendengar hal itu, sang Nabi menegur bahwa beliau tidak menghendaki umat Islam menjalani kehidupan semacam itu. Beliau menganjurkan kepada mereka agar tetap bekerja memenuhi kebutuhan hidup atau yang dalam bahasa hadis: “mengambil bagian di dunia ini”.

Banyak lagi kisah-kisah dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad (Sirah Nabawiyah) yang menunjukkan bahwa umat Islam mesti menjadi umat yang tidak ekstrem, berimbang, yang di dalam Al Quran disebut dengan istilah ummatan wasathan (umat yang pertengahan). Itulah salah satu misi utama Islam: mengarahkan umatnya menuju keberimbangan dalam hidup.

Maka dari itu, kita pun teramat heran melihat fenomena keberagamaan kaum muslim di negeri kita saat ini, yaitu terjadinya ekstremisasi agama. Kita mendapati beberapa komunitas Islam yang para anggotanya mengenakan atribut-atribut profetik dalam tataran artifisial, seperti mengenakan jubah dan peci serbaputih (laki-laki), pakaian serbapanjang dan longgar plus cadar yang warna kesemuanya serbagelap (wanita), menggunakan siwak (sejenis ranting) untuk menggosok gigi, serta menggunakan obat-obatan herbal bagi penyembuh sakit atau untuk bahan imunisasi balita sebagai sikap penolakan terhadap institusi dan kebijakan pemerintahan (Depkes, KB, dan PIN) yang dinilainya kafir.

Bahkan, ada juga di antara mereka yang sama sekali mengabaikan institusi hukum dengan cara turun ke jalan untuk merazia dan menghancurkan tempat-tempat yang dinilainya “sarang maksiat”. Yang paling memilukan adalah munculnya organisasi keislaman yang melahirkan aksi terorisme melalui pengeboman di pelbagai tempat yang menghabisi nyawa banyak orang itu.

Hemat saya, inilah yang kemudian menjadi salah satu sorotan kaum intelektual, yaitu ketidakberimbangan orang-orang dalam beragama. Rupanya, ada sesesuatu yang salah dalam cara kita beragama saat ini. Entah apa sebabnya. Mungkin karena ketidakadilan, keputusasaan, atau kejumudan. Memang, fenomena ekstremisasi agama bukanlah fenomena khas zaman kini sebab ia ada di setiap zaman dan di berbagai tempat. Bahkan, konon, pada masa dunia Islam tengah berada dalam naungan khilafah pun, hal itu telah terjadi, seperti yang gambarannya kita dapati dalam novel Namaku Merah Kirmizi Orhan Pamuk melalui tokoh Nusret Hoja atau dalam Leo the African Amin Maalouf melalui tokoh Syekh Astagfirullah. Namun, zaman kita kini, ekstremisasi itu terasa begitu memprihatinkan. Mereka begitu gencar, misalnya, meneriakkan penegakkan syariat Islam atau pendirian negara khilafah, tetapi begitu abai terhadap perikehidupan yang amat dekat dengan umat, semisal kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan. Bisa jadi, apa yang dilakukan—atau dimunculkannya—tokoh Nusret Hoja dan Syekh Astagfirullah merupakan refleksi kedua pengarang tersebut sebagai kaum intelektual dalam menanggapi fenomena ekstremisasi agama. Demikianlah, salah satu tugas kaum intelektual (dalam bahasa Arab: ulama) adalah memberikan penyadaran dan pencerahan bagi umat berdasarkan kelebihan ilmu, ilham, dan kebijaksanaan yang dimilikinya.