25 January 2013

DIMENSI PROFETIK SAJAK-SAJAK JEIHAN

DIMENSI PROFETIK SAJAK-SAJAK JEIHAN
Topik Mulyana

Dalam sebuah episode perjalanan Isra-Mikraj, Nabi Muhammad ditawari satu dari tiga macam minuman yang disuguhkan kepadanya: khamr (sejenis minuman memabukkan), susu, dan air putih. Sang Nabi memilih susu. Kemudian, Jibril mengomentarinya—atau lebih tepat: memujinya—bahwa pilihan beliau amat tepat. Seandainya Nabi memilih khamr, maka umatnya akan menjadi kaum hedonis dan jika memilih air putih, umatnya akan menjadi rahib. Tentu saja terpilihnya susu untuk beliau minum bukan sesuatu yang kebetulan. Hal ini terkait dengan kepribadian beliau jauh-jauh hari sebelum peristiwa agung itu berlangsung, yakni sikap tidak ekstrem. Sikap inilah yang kemudian menjadi salah satu teladan yang diwariskan kepada umat Islam yang bersungguh-sungguh mempelajari dan mengamalkan hadis dan sunnahnya.

Pada saat yang lain, sepulang dari sebuah peperangan, rombongan prajurit Islam yang dipimpin langsung oleh Nabi melewati sebuah tempat sunyi, sejuk, dan terdapat kolam mata air. Seorang sahabat pun berujar bahwa ia berniat akan menghabiskan sisa umurnya di sana untuk beribadah kepada Allah. Mendengar hal itu, sang Nabi menegur bahwa beliau tidak menghendaki umat Islam menjalani kehidupan semacam itu. Beliau menganjurkan kepada mereka agar tetap bekerja memenuhi kebutuhan hidup atau yang dalam bahasa hadis: “mengambil bagian di dunia ini”.

Banyak lagi kisah-kisah dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad (Sirah Nabawiyah) yang menunjukkan bahwa umat Islam mesti menjadi umat yang tidak ekstrem, berimbang, yang di dalam Al Quran disebut dengan istilah ummatan wasathan (umat yang pertengahan). Itulah salah satu misi utama Islam: mengarahkan umatnya menuju keberimbangan dalam hidup.

Maka dari itu, kita pun teramat heran melihat fenomena keberagamaan kaum muslim di negeri kita saat ini, yaitu terjadinya ekstremisasi agama. Kita mendapati beberapa komunitas Islam yang para anggotanya mengenakan atribut-atribut profetik dalam tataran artifisial, seperti mengenakan jubah dan peci serbaputih (laki-laki), pakaian serbapanjang dan longgar plus cadar yang warna kesemuanya serbagelap (wanita), menggunakan siwak (sejenis ranting) untuk menggosok gigi, serta menggunakan obat-obatan herbal bagi penyembuh sakit atau untuk bahan imunisasi balita sebagai sikap penolakan terhadap institusi dan kebijakan pemerintahan (Depkes, KB, dan PIN) yang dinilainya kafir.

Bahkan, ada juga di antara mereka yang sama sekali mengabaikan institusi hukum dengan cara turun ke jalan untuk merazia dan menghancurkan tempat-tempat yang dinilainya “sarang maksiat”. Yang paling memilukan adalah munculnya organisasi keislaman yang melahirkan aksi terorisme melalui pengeboman di pelbagai tempat yang menghabisi nyawa banyak orang itu.

Hemat saya, inilah yang kemudian menjadi salah satu sorotan kaum intelektual, yaitu ketidakberimbangan orang-orang dalam beragama. Rupanya, ada sesesuatu yang salah dalam cara kita beragama saat ini. Entah apa sebabnya. Mungkin karena ketidakadilan, keputusasaan, atau kejumudan. Memang, fenomena ekstremisasi agama bukanlah fenomena khas zaman kini sebab ia ada di setiap zaman dan di berbagai tempat. Bahkan, konon, pada masa dunia Islam tengah berada dalam naungan khilafah pun, hal itu telah terjadi, seperti yang gambarannya kita dapati dalam novel Namaku Merah Kirmizi Orhan Pamuk melalui tokoh Nusret Hoja atau dalam Leo the African Amin Maalouf melalui tokoh Syekh Astagfirullah. Namun, zaman kita kini, ekstremisasi itu terasa begitu memprihatinkan. Mereka begitu gencar, misalnya, meneriakkan penegakkan syariat Islam atau pendirian negara khilafah, tetapi begitu abai terhadap perikehidupan yang amat dekat dengan umat, semisal kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan. Bisa jadi, apa yang dilakukan—atau dimunculkannya—tokoh Nusret Hoja dan Syekh Astagfirullah merupakan refleksi kedua pengarang tersebut sebagai kaum intelektual dalam menanggapi fenomena ekstremisasi agama. Demikianlah, salah satu tugas kaum intelektual (dalam bahasa Arab: ulama) adalah memberikan penyadaran dan pencerahan bagi umat berdasarkan kelebihan ilmu, ilham, dan kebijaksanaan yang dimilikinya.


/2/
Jeihan Sukmantoro adalah seorang pelukis dan penyair. Lazimnya kaum seniman, ia terbiasa menjadikan nurani sebagai pedoman dalam berpikir dan bertindak. Itulah setidaknya yang saya tangkap dari pembicaraan beliau di Pusat Studi Bahasa Jepang, Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, 26 Oktober 2009. Ia kukuh memegang prinsip yang ia yakini bahwa itu benar. Lazimnya kaum seniman pula, Jeihan adalah seorang perenung. Kesempatan melakukan perenungan ini begitu lapang dimiliki jeihan mengingat ia—lagi-lagi, selazimnya kaum seniman—tidak terikat dengan rutinitas kehidupan modern yang menjadikan manusia bak mesin. Bahkan, terkait dengan hal tersebut, dengan nada sedikit angkuh namun jenaka, Jeihan berkali-kali mengatakan, “Saya tidak mencari uang; uanglah yang mencari saya.”

Buah renungan itu kita dapati dari beberapa sajaknya. Dalam perbincangan ini, saya mencoba menelaah sajak-sajak Jeihan yang sarat dengan renungan profetik, yaitu hasrat untuk berbagi dan menularkan sikap bijak, arif, dan adil kepada orang lain. Dengan demikian, di sini saya mesti mengabaikan permasalahan sajak mBeling yang lebih ramai dibicarakan orang; yang konon Jeihan adalah salah seorang pelopornya. Dengan kalimat lain, saya akan tidak akan melakukan pendekatan historis, tetapi pendekatan tekstual. Dengan pendekatan ini, diharapkan kekayaan tafsir atas puisi-puisi Jeihan akan bertambah.

/3/
BUAT KAU D. SUDIANA

    0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
bulan kehilangan magis

    A B C D E F G H I
          J K L M N O P Q R
           S T U V W X Y Z   

manusia kehilangan diri

      hitam-putih hitam-putih
hitam-putih hitam-putih

     dunia kehilangan warna

        1969

Bagi saya, lepas dari pendekatan historis sajak tersebut bahwa ia lahir berkenaan dengan mendaratnya Neil Amstrong bersama dua rekannya di bulan, sajak tersebut memiliki nilai universal berkenaan dengan dehumanisasi yang terjadi pada manusia. Penemuan di bidang teknologi dari satu sisi memuaskan logika manusia, tetapi di sisi lain menghapus mitos tentang bulan. Mitos dalam kehidupan manusia merupakan salah satu bentuk kesakralan yang di hadapannya manusia merasakan ketakutan yang hebat. Benda-benda yang dimitoskan memiliki daya magis atau yang disebut Rudolf Otto sebagai mysterium tremendum, ‘misteri yang memesona dan mengilhami’ (Eliade, 2002: 2). Teknologi yang disimbolkan oleh urutan angka dari nol hingga sembilan itu telah menghilangkan daya magis bulan sebab teknologi memosisikan segala sesuatu secara material dan sistematis. Urutan angka itu juga barangkali merupakan simbol bahwa angka pun kehilangan daya magisnya sendiri. Ia tidak lagi memiliki nilai matematis yang justru mengelaborasi angka-angka menjadi sesuatu yang takterhingga dan takterduga, baik melalui penjumlahan, pengurangan, pembagian, maupun pengalian. Angka yang berurutan dari nol hingga sembilan hanyalah bahan mentah bagi matematika, belum bernilai matematis. Demikian juga urutan abjad dari A-Z. Mereka tidak memiliki nilai linguistik apa pun; tidak memiliki pesona bunyi ataupun pesona makna. Seperti juga “manusia yang kehilangan diri”.


Otto menyebut bahwa pengalaman manusia berhadapan dengan mysterium tremendum adalah pengalaman numenous, suatu pengalaman yang disebabkan ketersingkapan aspek ilahiah. Maka dari itu, numenous menimbulkan perasaan hampa-diri; menyadari bahwa diri ini hanyalah ciptaan. Hal itu kemudian bermuara pada menjadinya manusia sebagai diri yang utuh; makhluk yang religius. Hilangnya daya magis yang disebabkan paradigma modernisme membuat manusia berpikir bahwa yang materiallah yang ada. Segalanya pun kehilangan pesona. Takada lagi mysterium tremendum dan numenous. Maka, manusia pun “kehilangan diri”. Dunia menjadi “hitam-putih”: “kehilangan warna”.

Hal pendangkalan ini terjadi juga di wilayah kehidupan beragama. Paham puritanisme dalam Islam telah menempatkan ajaran Islam yang adiluhung, memesona, dan penuh misteri (baca: takhabis-habisnya ditafsirkan) itu berada pada poisisi formal dan artifisial. Kita mendengar bahwa beberapa komunitas Islam bahkan mengharamkan produk-produk kesenian, seperti musik, karya sastra, dan seni rupa. Di mata mereka, dunia begitu hitam putih. Kepastian menjadi sesuatu yang teramat diperjuangkan, bahkan dipertuhankan. Agama menjadi institusi yang mengerikan; kehilangan fitrahnya sebagai institusi yang membebaskan manusia melalui konstitusi-konstitusi ilahiah.

Maka dari itu, diperlukan sikap berimbang. Umat Islam mesti berupaya menjadi umat yang pertengahan; yang seimbang antara yang dunia dan yang akhirat, antara yang profan dan yang sakral. Bersikap demikian memang sangat sulit karena tidak menentunya gelombang kehidupan. Sajak berjudul “Kita Kita” berikut memberikan wanti-wanti kepada kita berkenaan dengan hal tersebut.

laut adalah kehidupan
kita adalah perahu

kita perlu tahu gelombang
        pasang surut
kita perlu tahu keseimbangan
        agar selamat.

Sepintas, metafora laut dan perahu mengingatkan kita pada puisi-puisi sufistik, baik dari para sufi Timur Tengah maupun Nusantara. Sekadar contoh, saya kutip penggalan puisi “Pelayaran” karya Attar berikut.

dan kubuat sebuah perahu
    dari nama-Mu
menempuh samudra biru
    kuberlayar menuju-Mu
   
Artinya, puisi “Kita Kita” mengandung tema sufistik yang sangat popular, yaitu tentang bekerja berikut tujuannya. Bagi orang-orang yang memuliakan kerja, kehidupan ibarat samudra, lautan luas, dan diri kita ibarat perahu. Laut adalah medan yang senantiasa bergerak. Sesekali terjadi badai dan sesekali tenang. Semua itu tidak terduga. Laut begitu misterius. Maka, kita pun dituntut untuk senantiasa waspada. Kita wajib mengetahui situasi medan tempat kita berlayar. Dengan cara itulah kita bisa selamat. Demikianlah kehidupan ini. Serbamisterius dan dinamis. Kita mesti mengetahui kapan saat pasang dan kapan saat surut sehingga kita bisa membawa diri; tidak terlalu tenggelam di dalamnya, baik dalam kebahagiaan maupun dalam kesedihan. Filosofi keberimbangan ini juga mengingatkan saya pada puisi Iqbal: jagalah benang kehidupanmu agar tidak terlalu kencang dan tidak terlalu kendur. Keseriusan sangat kita perlukan untuk menjalani kehidupan ini agar kita menggapai apa yang kita cita-citakan. Pada saat yang sama, kebermain-mainan pun sangat kita perlukan agar senyampang berlari mengejar cita-cita, kita pun bisa menikmati segarnya kehidupan ini.

Filosofi keberimbangan juga kita temui dalam sajak Jeihan yang lain, yaitu yang berjudul “Syukur dan Tafakur” berikut.

mari kita cuci
diri kita dengan
peluh sendiri
di siang hari

dan
mari kita basuh
hati kita dengan
air mata sendiri
di malam hari

1999

Menurut saya, sajak tersebut memiliki keterkaitan tematik dengan sajak “Kita Kita”. Tema itu adalah bagaimana kita memuliakan kerja. Kerja adalah aktivitas yang membuat segala potensi kemanusiaan kita teroptimalisasikan. Inilah salah satu makna syukur dalam Islam, yaitu menggunakan segala yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita demi pengabdian pada sesama makhluk Tuhan. Namun, dalam aktivtitas tersebut, kerapkali kita lalai. Keberhasilan mengoptimalkan potensi diri kerap membuat manusia jumawa, lupa diri. Hal itu dapat kita temui dalam kisah-kisah Al Quran tentang para umat terdahulu, semisal kaum Sodom, kaum Tsamud, dan Firaun yang memiliki kemampuan menjalankan pemerintahan dengan sangat baik, membuat bangunan-bangunan yang tinggi, megah, dan indah namun lupa diri sehingga menjadi manusia-manusia sombong yang kemudian diazab Tuhan. Maka dari itu, tafakur sebagai aktivitas pasca-kerja mutlak diperlukan. Dengan tafakurlah kita mengevaluasi segala yang telah kita lakukan, lalu memperbaiki apa yang kurang dan meningkatkan apa yang telah baik.    

Dalam Al Quran terdapat ayat yang menyatakan bahwa Tuhan telah menciptakan siang sebagai waktu untuk bekerja dan malam sebagai waktu beristrahat. Namun, hadis-hadis kemudian menekankan bahwa sebaik-baiknya hamba adalah yang bersujud kepada Tuhannya pada malam hari di sela-sela waktu tidurnya. Pada saat itu, disebutkan dalam berbagai hadis, Tuhan menyediakan fasilitas-fasilitas ilahiah kepada mereka, seperti doanya akan sampai tanpa penghalang atau didoakan malaikat. Hal itu menunjukkan bahwa betapa pentingnya saat tersebut. Lebih dari itu, tafakur menjadikan kita sebagai manusia yang optimal dalam bekerja sekaligus sebagai hamba yang senantiasa sadar diri. Dengan cara itulah kita menjadi manusia yang paripurna (al insan al kamil). Inilah tujuan setiap muslim. Salah satu hadis Nabi Muhammad yang serupa dengan sajak tersebut adalah yang berbunyi bahwa seorang muslim ibarat prajurit yang gagah berani pada siang hari dan ibarat rahib pada malam hari.

Menurut saya, pesan terpenting dari sajak “Syukur dan Tafakur” dalam hal kehidupan kita kini adalah pembebasan diri dari pemberhalaan terhadap sesuatu yang bukan Tuhan, baik teknologi maupun agama itu sendiri. Modernisme menempatkan manusia pada posisi sentral dan berkuasa. Pemahaman ini kemudian menumbuhkan keyakinan bahwa manusia boleh menggarap apa pun dengan cara apa pun untuk kepentingannya. Mereka pun memuja vitalitas. Vitalitas ini kemudian melahirkan teknologi. Maka, teknologi pun menjadi simbol keunggulan manusia. Islam memandang semangat kerja (vitalitas) berikut hasilnya (teknologi) sebagai sesuatu yang harus diraih manusia, namun kemudian disadari sebagai sarana untuk penghambaan diri kepada Tuhan. Hal kedua inilah yang kerap diabaikan manusia. Teknologi kemudian menjadi kebenaran mitis yang menentukan bagaimana manusia harus hidup. Sajak “Syukur dan Tafakur” mengajak kita untuk melepaskan diri dari kebenaran semacam itu.

Jika teknologi adalah hasil pemujaan manusia terhadap “peluh” dan “siang hari”, maka ekstremitas agama adalah sebaliknya: pemujaan terhadap “air mata” dan “malam hari”. Kita mendapati banyak kaum beragama menjadikan agama sebagai kebenaran itu sendiri, bukan medium untuk menggapai kebenaran. Amar makruf dan nahyi mungkar lebih sering diucapkan ketimbang diamalkan. Segala sesuatu harus ditentukan oleh pahala, dosa, neraka, atau surge. Agama takubahnya dengan mitologi. Hal ini disebabkan pemahaman agama yang melulu ditekankan pada masalah rububiah semata dan mengabaikan hal-hal yang “duniawi” dengan dalih bahwa dunia itu “hanya sementara”, “tipuan belaka”; akhiratlah yang kekal. Hal ini diperparah dengan ideologi-ideologi agama yang berkembang akhir-akhir ini yang menyebabkan timbulnya hasrat kaum beragama untuk tidak saja memitoskan agama, tetapi juga memformalkannya dalam berbagai bidang (partai Islam, perda syariat, dsb). Sajak “Syukur dan Tafakur” hendak mengajak kita untuk tidak melulu “tenggelam dalam air mata pada malam hari”, tetapi juga untuk “bermandi peluh pada siang hari”. Dengan demikian, kaum muslim menjadi kaum yang menguasai dan menenteramkan dunia sekaligus siap menghadapi akhirat.

Dengan demikian, dalam kedua konteks tersebut, “Syukur dan Tafakur” dapat ditafsirkan sebagai medium bagi kita melepaskan diri dari segala sesuatu yang dimitoskan. Sikap, yang oleh Franz Altheim disebut Entmythologisierung ini, adalah proses berikutnya yang mesti dilakukan manusia untuk menjadi manusia religius, manusia nabi (Mangunwijaya, 1992: 27). Oleh sajak itu, kita diajak untuk berlepas diri dari mitos teknologi dan mitos agama sekaligus untuk menjadi manusia yang lebih religious, lebih profetik. Pelepasan ini bukan arti “membuang”, melainkan justru “melakukan pendalaman” terhadap keduanya sehingga baik teknologi maupun agama, baik “peluh” maupun “air mata”, menjadi sesuatu yang berguna bagi kita. Jadi, keterpesonaan dan ketakutan terhadap mitos pada waktu tertentu harus diakhiri. Keterpesonaan terhadap sesuatu yang sakral harus memberikan ilham kepada manusia membawanya ke tataran profan; untuk berbuat baik kepada diri, orang lain, dan alam.  

Akhirnya, pada sajak “Kembali”, saya mendapati inti dari pesan kenabian, yaitu memberi tahu kita tentang asal dan tempat kembali kita.

dari gumpalan tanah
jadi gumpalan darah
jadi gumpalan nanah
dari tanah ke tanah

Bagi saya, sajak ini adalah bunyi lain dari kalimat istirja: innalillahi wainna ilaihi raajiun, dari Tuhan kembali ke Tuhan. Pada umumnya, kaum muslim percaya bahwa diri ini terdiri atas raga dan jiwa. Raga berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah, sedangkan jiwa berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Inilah kesadaran tertinggi seorang manusia, yaitu bahwa dirinya bukan apa-apa—dalam bahasa Injil: “hanyalah debu dan abu”.

Sajak tersebut mengingatkan kita bahwa kita bukan apa-apa. Hal ini penting untuk mengerem dan meredam kelupaan dan kelalaian yang kerap menenggelamkan kita. Kelemahan akal yang dimiliki manusia kerap membuatnya lupa diri, sombong. Kesombongan inilah yang justru membuat manusia mengalami disorientasi dalam kehidupan ini, ibarat perahu terombang-ambing di laut lepas tanpa kompas. Dia lupa asalnya dan tidak tahu tujuannya. Orang semacam ini mudah panik dan gampang celaka sebab tidak waspada terhadap “pasang surut dan pasang naik” kehidupan ini.

Sajak “Kembali” mengandung pencapaian tertinggi upaya manusia untuk mengenal Tuhannya, yaitu kesadaran—atau mungkin kerinduan—bahwa dirinya akan kembali kepada Tuhan. Transformasi yang membuat manusia dapat “kembali” itu adalah kematian. Senada dengan itu, Jaspers dan Heidegger menyebutkan bahwa fase tertinggi dari religiositas seorang manusia adalah Sein zum Tode: yakin pada dan tenang saat menjemput kematian (ibid: 51-53). Sajak “Kembali” mengajak kita untuk tidak takut pada kematian dengan cara mengingatkan kita bahwa kita pun berasal dari kematian, “dari tanah ke tanah”. Memindai kata per kata dari sajak ini mengingatkan saya pada bunyi ayat dalam Al Quran: “menciptakan yang hidup dari yang mati dan menciptakan yang mati dari yang hidup”. 

/4/
Untuk menutup tulisan ini, saya mengadopsi rumusan Kuntowijoyo tentang konsep sastra profetik. Pesan-pesan kenabian dalam karya sastra diklasifikasikan ke dalam tiga aspek, yaitu humanisasi (amar makruf), liberasi (nahyi mungkar), dan transendensi (tu’minuna billah) (Kuntowijoyo, 2005). Dalam hal ini, saya menafsirkan humanisasi sebagai upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan manusia; orientasinya pada diri. Liberasi adalah pembebasan manusia dari kungkungan segala sesuatu yang bukan Tuhan; orientasinya pada orang lain. Transendensi adalah penyerahan diri secara total kepada Tuhan karena dengan cara itulah manusia mendapatkan kebebasan sejati.

Keempat sajak Jeihan yang telah dibahas mengandung ketiga aspek ini. Sajak “Untukmu, D. Sudiana”, kental dengan aspek liberasi. Pada “Kita Kita” dan “Syukur dan Tafakur”, aspek humanisasi dan liberasi terasa sekaligus karena ditujukan pada diri sendiri dan orang lain: “kita”. Pada Kembali, kita pun merasakan suasana yang khidmat dan magis, yang artinya aspek transendensilah yang lebih kental. Tentu saja pengotak-ngotakan ini tidak “hitam-putih” karena keempat sajak tersebut mengandung ketiga aspek tersebut. Hanya saja, salah satu aspek terasa lebih menonjol daripada yang lainnya. Apa pun itu, keempat sajak Jeihan tersebut mengandung dimensi profetik atau jika mengacu pada maklumat Kuntowijoyo, dapatlah kiranya keempat sajak jeihan tersebut digolongkan ke dalam sastra profetik karena di dalamnya kental terasa dimensi profetik, pesan-pesan kenabian yang mengajak kita, pembaca, menjadi manusia yang lebih baik dan lebih benar daripada sebelumnya untuk kelak sampai pada kesadaran dan pemahaman tertinggi akan Sang Mahabaik dan Mahabenar.

*Makalah ini menjadi bahan diskusi Materi Kamisan FLP Bandung 2012 oleh Topik Mulyana

No comments:

Post a Comment