TENTANG
KAU, AKU, DAN SEPUCUK ANGPAU MERAH - TERE LIYE
Sri Al Hidayati

Kalian pernah datang
ke pengelolaan karet? Pekerjaan di sana sebenarnya mudah, bal-bal karet hasil
sadapan petani bercampur cuka dikirim ke pabrik lewat perahu-perahu. Jauh
sekali perahu kayu berhiliran dari kebun penduduk di hulu Kapuas. Lantas mesin
pabrik akan mengolahnya menjadi lembaran tipis belasan meter. Lembaran itu
dikeringkan menjuntai dari atap gudang tinggi-tinggi bagai menjemur kain
selendang, diangin-anginkan. Setelah kering, lembaran karet dimasukkan ke dalam
kontainer, diangkut truk besar, dibawa ke pelabuhan, menuju pabrik berikutnya.
Bau, itulah hal paling
memberatkan bekerja di pabrik karet. Hasil sadapan bercampur cukanya saja sudah
bau, apalagi setelah diolah, lebih bau. Radius ratusan meter sudah menyengat,
dan aku sialnya persis berada di hadapannya. Masker kain tiga lapis tidak
mempan, partikel bau itu menusuk membuat tersengal. Maka seragam oranye itu
tidak ada gagah-gagahnya lagi ketika aku pulang. (halaman 20-21)
Kemudian setelah 6 bulan Borno bekerja, ia terkena PHK. Kemudian Borno
mencari pekerjaan lagi. Atas keberuntungan menjawab pertanyaan—memecahkan
masalah bau cipratan air karet, ia bekerja kemudian di dermaga Feri. “Pakai daun singkong, Pak. Daunnya
diremukkan, lantas dipakai untuk mencuci tangan yang terkena cipratan air
karet.”
Di atas kebahagiaannya telah bekerja di tempat baru, ia menjadi sasaran
amukan Bang Togar. Bahkan selebaran dipampang di sudut-sudut kampung ditambah wajah
Borno untuk tidak mengangkut Borno dalam sepit Togar dan kawan-kawan saat akan
berangkat bekerja. Borno kecewa.
Aku harus segera
memilih, berhenti bekerja dari pelampung itu atau, cepat atau lambat, seluruh
penghuni gang sempit memusuhiku. (halaman 39)
Borno teringat dengan
wasiat Bapak. “‘Borno, jangan pernah jadi pengemudi sepit.” Pak Tua kemudian
memberi nasihat kepada Borno, “Jamak itu Borno. Lazim sekali seorang petani
bilang ke anaknya, ‘Nak, jangan jadi petani, tidak bisa kaya.’ Seorang guru SD
bilang ke anaknya, ‘Nak, jangan jadi guru, hidupnya susah, makan hati pula.’
Seorang kuli kasar bilang ke anaknya, ‘Nak, jangan pernah jadi kuli, keringat
diperas, gaji tak memadai.’ Tetapi maksud mereka tidaklah demikian. Hakikat
sejati pesan itu adalah agar kau jadi lebih baik....”(halaman 53)
Saat Borno sudah berhenti dari pekerjaannya, memutuskan menjadi pengemudi
sepit, ia harus berhadapan dengan Bang Togar, ketua PPSKT dan ia mengalami masa
orientasi berlebihan. Ia menghabiskan seminggu tiga kali sehari untuk
membersihkan jamban di dermaga sepit, sebelum akhirnya berlatih mengemudi
sepit. Borno termasuk anak yang pintar karena beberapa kali berlatih mengemudi
sepit, ia mampu lihai.
Ia sempat kebingungan menjadi pengemudi sepit tapi tak punya sepit. Tapi
untunglah Pak Tua rela meminjamkan sepit pada Borno asal setor karena meminjam
sepit Pak Tua.
Di hari pertama membawa Sepit, Borno menjadi olok-olok Bang Togar atas
kemampuannya, karena itu jadi saat perdananya membawa sepit. Sebenarnya penumpang
sudah penuh di sepit, namun karena penjelasan Bang Togar, mereka ikut merasa
khawatir dan turun dari sepit. Sampai akhirnya petugas timer meminta mereka naik lagi. Sepit berangkat dan sampai
seberang dengan baik.
Tak disangka Bang Togar secara mengejutkan memberikan sepit (hasil urunan
warga kampung) kepada Borno. Ternyata masa orientasinya berakhir. Borno merasa
terharu. Sampai Borno dilemparkan ke permukaan Kapuas. Sepit Borno dinamakan
Sepit Borneo.
Kemudian petugas timer memberitahu Borno kalau ada barang tertinggal di
sepit yang pertama ia kemudikan. Borno melihat Angpau Merah. Setelah itu Borno menjaga
surat itu, meski Andi, sahabat Borno penasaran ingin membukanya. Borno
melarangnya. Borno berusaha mati-matian mencari gadis berbaju kuning yang
terlihat seperti orang Cina saat menaiki sepitnya tadi, Borno berkesimpulan
barang itu milik gadis itu. Sampai uang habis untuk membayar solar. Semua
berubah saat Jupri bertanya padanya, “Apakah kau sudah dapat Angpau?”
Borno diam. Setelah Borno jauh mencari ternyata ada disini—mungkin seperti
itu pikirnya, Di pojok dermaga, gadis itu tersenyum manis membagikan amplop
yang sama pada pengemudi sepit dan pedagang di sekitar dermaga.
Dua hari terakhir aku
keliru menebak. Ternyata amplop merah itu tidak penting. Aku menghela nafas
panjang, balik kanan, hendak melangkah gontai menuju sepit, menunggu antrean.
“Abang mau terima
angpau juga?” suara merdu itu menyapa.
Aku menoleh. “Eh? Kau
memanggilku?” (halaman 95)
Mulailah Borno berpikir: gadis itu harus naik sepitku saat hendak
menyeberang. Dari mulai terlalu cepat datang, selisih satu penumpang, sampai
akhirnya ia menemukan jam yang tepat bila ia ingin gadis itu menaiki sepit
Borno, yaitu di sepit urutan tiga belas, pukul 7.15.
Borno juga berusaha ingin mengobrol dengan gadis itu sampai sengaja
melambat-lambatkan sepit saat di jalan. Dan gadis itu pun merasa aneh karena
akhirnya selalu naik sepit Bang Borno, begitu panggilannya. Borno pun tahu akhirnya
nama gadis itu Mei, yang sedang PPL mengajar di Pontianak.
Borno dan Mei menjadi teman yang baik, dan suatu saat Mei tidak datang saat
Borno akan pergi mengantarnya ke Istana Kadariah. Kabarnya ia pulang ke
Surabaya. Akhirnya kebiasaan Borno banyak berubah yang asalnya selalu mengantri
di sepit nomor tiga belas, ia pun mengisi waktu lagi dengan belajar jadi montir
di bengkel ayahnya Andi. Bakat Borno terhadap mesin membuat ayah Andi tertarik.
Cerita berlanjut dengan kepergian Pak Tua dan Borno ke Surabaya untuk menemani
Pak Tua melakukan terapi di Surabaya. Perjuangan mencari Mei dengan menelepon
dari buku telepon dan ternyata setelah dua hari berjuang, Mei di hadapannya dan
mereka bertiga berkeliling Surabaya. Sempat bertemu Fulan Fulani, sahabat lama
Pak Tua, pasangan buta yang hidup bahagia dan membuat haru Borno, begitupula
Mei.
*
Membaca kisah Borno dan Mei, “Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah” (Gramedia,
2012) mengisahkan pengorbanan, percintaan dan keluarga. Sudut pandang novel ini
ialah sudut pertama Borno. Suspens-suspen yang ada berkaitan dengan tokoh satu
dengan yang lain. Alur maju mundur dimainkan secara menarik.
Semua kisah “Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah” berawal dari sini :
Umurku dua belas,
duduk di lorong rumah sakit menangis sendirian terisak. Di ruangan berjarak
sepuluh meter dariku, Bapak memutuskan menunaikan kebaikan terakhir. Aku selalu
tahu—sebagaimana seluruh penduduk tepian Kapuas tahu—Bapak adalah orang baik
yang pernah kukenal. Aku tidak tahu apakah ubur-ubur yang membuatnya meninggal
atau pisau bedah dokter. (halaman 16)
Saat usia Borno 12 tahun, Borno harus kehilangan Bapak, karena Bapaknya
telah mendonorkan jantungnya pada Ayah Sarah. Sarah kemudian diceritakan di
dalam novel adalah seorang dokter gigi muda seusia Borno, tipikal perempuan
yang cantik. Saat Andi sakit gigi, Pak Tua dan Borno menemani pergi ke dokter
gigi. Akhirnya Sarah ingat dengan Pak Tua, teringat juga dengan Borno saat di
lorong rumah sakit. Sarah sangat senang bertemu dengan Borno. Lama Sarah
berusaha mencari dan tidak bertemu ujungnya, karena pihak keluarga Bapak Borno
tidak mau diketahui yang telah menolong.
“Kau ingat, Abang,
dini hari itu kau justru hendak mengusirku. Aku ingat sekali wajah kau, wajah
sedih, tidak mengerti apa yang telah dilakukan bapak kau. Tahukah Abang, dini
hari itu aku bersumpah apa pun yang terjadi pada bapakku, aku akan mencari kau,
anak dari seseorang yang telah meminjamkan kehidupan pada bapakku. Ya Tuhan,
setelah lama mencari.” (halaman 317).
Sarah kemudian mengundang Borno sekeluarga makan malam bersama. Selanjutnya
pula Sarah dan keluarga besar datang ke rumah Ibu Borno. Ibu Sarah memeluk
Borno dan berkata,
“Kau tahu, Nak,”
wanita itu menyeka pipi, berlinang air mata,” suamiku bukan hanya menyaksikan
anak-anak kami menikah, berkeluarga, melihat cucu-cucunya. Suamiku bahkan
sempat menyaksikan Sarah menjadi dokter. Itu sungguh kebahagiaan terbesarnya.
Terima kasih, Nak. Sungguh terima kasih”. (halaman 330)
Ternyata Mei pula berkaitan dalam hal ini. Mama Mei adalah dokter yang
telah melakukan pendonoran jantung. Mama Mei sudah berbulan-bulan sakit karena
memikirkan masa lalunya karena sudah menghabiskan usia seorang Bapak yang masih
bisa diusahakannya (Mei baru tahu dari buku harian mamanya).
Mei merasa bersalah, alasan utama Mei menyengaja dari Surabaya pergi ke
Kalimantan untuk melihat Borno, dan angpau yang ditinggalkan kali pertama saat
Borno mengemudi sepit, ternyata bukanlah angpau biasa. Itu adalah surat dan
baru dibaca Borno pada saat Mei pergi hampir setahun dari Surabaya. (Selengkapnya
di halaman 499-502).
Setelah hampir setahun, Borno tahu dari Bibi Mei kalau Mei sudah hampir
tiga bulan jatuh sakit. Ia kemudian berangkat ke Surabaya. Perasaan Borno tidak
berubah saat tahu Mama Mei dahulu yang membuat tangis Borno di lorong begitu
keras. 6 bulan kemudian Borno berkuliah
dan bisnis Borno telah maju di jalan Sudirman, jalan paling besar di Pontianak.
[ ]
Bandung, 5 Agustus
2012
[SEKILAS] T E R E L I Y E
Tere-liye lahir di Palembang, 21 Mei 1979, lelaki bernama Bang Darwis, yang beristrikan Riski Amelia, adalah seorang ayah dari Abdullah Pasai. Lahir dan besar di pedalaman Sumatera, berasal dari keluarga petani, anak keenam dari tujuh bersaudara. Berlatar pendidikan di Fakultas Ekonomi UI.
Karya-karyanya:
1. Kisah Sang Penandai
2. Ayahku (Bukan) Pembohong
3. ELIANA, Serial Anak-anak Mamak
4. Daun yang Jatuh tak Pernah Membenci Angin
5. PUKAT, Serial Anak-anak Mamak
6. BURLIAN, Serial Anak Mamak
7. Hafalan Shalat Delisa
8. Moga Bunda Disayang Allah
9. Bidadari-bidadari Surga
10. Rembulan Tenggelam di Wajahmu
11. Senja Bersama Rosie
12. Mimpi-mimpi si Patah Hati
13. Cintaku Antara Jakarta & Kualalumpur
14. The Gogons Series 1
15. Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
"Tere Liye" merupakan nama pena dari seorang novelis yang diambil dari bahasa India dengan arti : untukmu, untuk-Mu. Awal tahun 2012, ditayangkan serial TV (15 episode) bertajuk "Serial Anak Kaki Gunung" yang diangkat dari Serial Anak-anak Mamak karya Darwis Tere-Liye, dari tetralogi tiga buah, yaitu: Burlian, Pukat, Eliana. Sedangkan novel "Amelia" rencananya baru akan terbit akhir tahun ini. Serial TV ini digarap oleh Bang Dedi Mizwar, salah satu sineas idealis Indonesia.
Novelnya ini mengangkat dunia anak-anak yang mengangkat standard moralitas, kebaikan, kasih sayang keluarga, kesederhanaan yang dibungkus dengan kepolosan, dan keterbatasan anak-anak. Buku-buku ini tentang anak-anak Mamak yang tinggal di kampung pedalaman.
Setelah Burlian si anak spesial yang bercita-cita melihat dunia dengan kapal-kapal besar, dilanjutkan dengan Pukat si anak pintar, yang ingin menjadi peneliti dan menemukan harta karun terbesar kampungnya, kini dilanjutkan dengan Eliana, si anak sulung yang pemberani dan tidak bisa tinggal duduk diam melihat ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan yang terjadi di depan matanya.
Di buku keempat ini, tidak hanya menceritakan tentang aksi Eliana bersama teman-temannya yang tidak bisa tinggal diam melihat kampung mereka diporak-porandakan penambang pasir rakus dari kota, mengeruk pasir di delta sungai kampung mereka tanpa mempedulikan dampak yang ditimbulkannya, tapi juga menceritakan Eliana sebagai anak sulung mamak dengan segala tanggung jawab terhadap ketiga adiknya serta konflik-konflik dengan teman-teman di sekolahnya. [Sri Al ]